Senin, 11 Januari 2010

Gottfried Wilhem Leibniz( Leibniz / Von Leibniz)
1 Juli 1646 –14 November 1716


Filsuf yang rasionalis, ia adalah ilmuwan, matematikawan (logika modern dan integral), diplomat, ahli fisika (mekanika), kimia, geologi, sejarawan dan doktor dalam hukum duniawi dan hukum gereja.





Dari kesempurnaan-Nya yang tinggi, Selanjutnya Tuhan memilih rancangan terbaik dalam menciptakan alam semesta, sebuah rancangan yang mencakup keanekaragaman terbesar dan juga keteraturan terbesar.
(Leibniz)

Riwayat Hidup Leibniz

Gottfried Wilhem Leibniz atau Von Leibnizatau Leibniz (1 Juli 1646 – 14 November 1716) adalah seorang filsuf Jerman keturunan Sorbia dan berasal dari Sachsen. Leibniz lahir di kota Leipzig, Sachsen pada 1 Juli 1646. Orang tuanya, terutama ayahnya Friedrich Leibniz sudah sejak awal membangkitkan rasa ketertarikannya terhadap masalah-masalah yuridis dan falsafati.Ayahnya merupakan seorang ahli hukum dan profesor dalam bidang etika dan ibunya adalah putri seorang ahli hukum pula. Gottfried Leibniz telah belajar bahasa Yunani dan bahasa Latin pada usia 8 tahun berkat kumpulan buku-buku ayahnya yang luas. Pada usia 12 tahun ia telah mengembangkan beberapa hipotesa logika yang menjadi bahasa simbol matematika.
Pada tahun 1661 Leibniz mendaftarkan diri di Universitas Leipzig dan kuliah filsafat pada ahli teologi Johann Adam Schertzer dan teoretikus filsafat Jakob Thomasius. Pada tahun 1663 ia berubah universitas, sekarang di Universitas Jena untuk belajar lebih lanjut di bawah ahli matematika, fisika dan astronomi Erhard Wiegel untuk membedah pemikiran Pythagoras. Dengan usia 20 tahun ia ingin promosi dalam bidang doktor hukum, namun para profesor Leipzig menganggapnya terlalu muda. Leibniz maka pergi ke Nürnberg, untuk belajar lebih lanjut di Universitas Altdorf.Leibniz adalah seorang bangsawan yang telah mendirikan Akademi Berlin. Dia meninggal di kota Hannover pada 14 November 1716.
Leibniz menerbitkan sedikit saja karya selama hayatnya, dan karya filsafatnya yang terbesar Monadology.Ia terutama terkenal karena faham Théodicée bahwa manusia hidup dalam dunia yang sebaik mungkin karena dunia ini diciptakan oleh Tuhan Yang Sempurna. Faham Théodicée ini menjadi terkenal karena dikritik dalam buku Candide karangan Voltaire. Adapun karyanya yang penting adalah Discourse on Methaphysic, The New Essay on the Human Understanding.
Leibniz sendiri tidak pernah berusaha menguraikan filsafatnya secara panjang lebar. Dia tidak memiliki sifat menyendiri atau penyesalan Spinoza, walaupun ia mengagumi kehebatannya, dan dia menyerahkan semua hasil renungannya pada naluri mengatur dari orang lain yang kurang berbakat.
Selain seorang filsuf yang rasionalis, ia adalah ilmuwan, matematikawan (logika modern dan integral), diplomat, ahli fisika (mekanika), kimia, geologi, sejarawan dan doktor dalam hukum duniawi dan hukum gereja. Ia dianggap sebagai Jiwa Universalis zamannya dan merupakan salah seorang filsuf yang paling berpengaruh pada abad ke-17 dan ke-18. Kontribusinya kepada subyek yang begitu luas tersebar di banyak jurnal dan puluhan ribu surat serta naskah manuskrip yang belum semuanya diterbitkan. Sampai sekarang masih belum ada edisi lengkap mengenai tulisan-tulisan Leibniz dan dengan ini laporan lengkap mengenai prestasinya belum dapat dilakukan.

Pemikiran

Pikiran Leibniz berkembang sangat hebat selama hidupnya.Apa yang lahir sebagai suatu sistem metafisika yang rasional berawal dari pertentangan ilmiah dan matematika.Leibniz memulainya dari dari dua doktrin implisit yang bertalian satu sama lain yaitu :
1. Pandangan rasional tentang substansi :dia yakin bahwa dunia terdiri dari substansi dan atributnya, dan berpendapat bahwa tiadak ada suatu paham tentang substansi yang membiarkan substansi diciptakan atau dihancurkan selain oleh suatu “mukjizat”. Dia sependapat dengan para pengikut Descartes bahwa ada kesulitan yang tidak dapat dihindarkan yang menganggap ada interaksi diantara substansi, dan dia mengemukakan suatu jawaban yang jujur dan istimewa atas kesulitan ini.
2. Ada hukum dasar pikiran yang jika diterapkan secara tepat, akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar. Kita hanya harus mematuhi beberapa peraturan “sinar Kodrati” (Descartes)untuk sampai pada suatu penjelasanbagaimana segala sesuatu itu ada. Tentu saja penjelasan ini harus sesuai dengan penemuan ilmu alam. Tetapi semua penemuan ini langsung dapat dimasukkan dalam suatu teori metafisika yang sempurna setelah diketahui bahwahal itu bukan unsur-unsur pokok kenyataan tetapi hanya aspek fenomenalnya. Leibniz yakin bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia sebagai tampilan secara sistematis

Dunia sebagaimana yang kita lihat hanya dapat dikenal melalui penerapan dasar pemikiran pertama, dan tanpa itu kita tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah.Salah satu dasar prinsip itu adalah hukum tidak bertentangan.Tidak mungkin kita berpikir logis selain dengan mematuhi hukum ini yang bukan dari penemuan ilmiah tetapi suatu aksioma dan berusaha memberikan logika dalam usahanya tersebut.

a. Berbagai Prinsip

Disamping hukum nonkontradiksi Leibniz melihat beberapa hukum lain tentang pemikiran, sebagian diantaranya dia kemukakan sebagai aksioma. Apa yang membuat suatu kalimat dalam bentuk ‘s adalah p’ benar? Jelas bahwa atribut ‘p’ ada dalam substansi ‘s’. Jadi kalau begitu apa substansi ini? Tidak akan ada ciri yang dapat digunakan untuk membedakan suatu substansi yang nyata dari yang lain, semua substansi menjadi bagian dari satu benda saja, sehingga pandangan Spinoza harus diterima.
Oleh karena substansi dapat berbeda sampai tingkatan terkecil tanpa harus serupa, tampaknya orang harus mengartikan suatu substansi dalam hubungan keseluruhan dari atributnya. Totalitas (konsep) ini menggambarkan dan memberi pengertian apa yang disebut Leibniz ‘monad’. Monad adalah individu-individu utama yang membentuk dunia. Suatu substansi diidentifikasi melalui totalitas atributnya yang kemudian dikenal dengan hukum identitas. Leibniz menganggap bahwa waktu dan ruang memiliki realitaskarena perbedaan dari masing-masing monad.
‘Prinsip penalaran yang mencakupi’ adalah prinsip yang mengatakan tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa penjelasan yang cukup. Tidak ada kalimat yang benar dimana “mengapa” tidak mendapat jawaban.

b. Kontigensi (Ketidakmutlakan)

Jika semua pernyataan subyek-predikat adalah benar, bagaimana menjelaskan perbedaan antara kebenaran mutlak dan kebenaran yang tidak mutlak? Dia memperkenalkan konsep suatu dunia yang mungkin terjadi. Substansi ‘s’mungkin tidak ada dalam setiap dunia yang mungkin tersebut. Memang sesungguhnya hanya ada satu substansi yang ada dalam setiap duniayang dimungkinkan ialah Allah. Oleh karena itu semua pernyataan tentang ‘s’ (sejauh yang menyiratkan bahwa ada) sifatnya tidak mutlak. Prinsip seperti prinsip nonkontradiksi atau kebenaran matematika, karena tidak mengandaikan eksistensi apapun, adalah benar dalam setiap dunia yang mungkin, dan dengan demikian itu perlu.

c. Metafisika

Leibniz berpendapat seperti semua penganut paham rasionalis, bahwa semua prinsip metafisika harus menjadi dasar penyelidikan empiris dan mereka sendiri tidak berasal dari pengalaman. Dunia terdiri dari kumpulan monad yang seperti jiwa, tidak bereksistensi dan tidak berinteraksi maupun tidak membentuk suatu struktur hubungan antar mereka sendiri. Tetapi tampaknya kita menghuni suatu dunia yang terdiri dari berbagai benda bereksistensi ruang dan saling mempengaruhi satu sama lain sesuai hukum sebab-akibat. Bagaimana ini bisa terjadi? Untuk itu Leibniz memperkenalkan suatu paham metafisika yaitu suatu paham tentang fenomena yang punya dasar kuat.

d. Dunia Kebendaan

Jika ruang itu mutlak adanyadan memiliki suatu realitas yang jauh melebihi hubungan ruang diantara individu, maka seluruh alam semesta dapat digerakkan dalam ruang, tanpa suatu perubahan yang kentara. Dunia fisik yang digambarkan sebagai penampilan yang sistematis adalah suatu fenomena yang berlandasan kuat. Ini berarti bahwa sifat dinamis dan statis dari benda susunan ruang dan waktu serta hukum sebab-akibat yang mengatur perilakunya ditempatkan oleh Leibniz sebagai dunia penampilan. Untuk memahami ini kita perlu memperhatikan teori positif tentang sifat ‘monad’.

e. Monadologi

Sayaterdiri dari suatu materi tertentu (materi prima) yang disusun sesuai dengan prinsip hidupmasing-masing (vis viva) membentuk bahan itu menjadi suatu yang berpikiran aktif ; ‘Vis viva ‘ tidak serupa dengan ‘conatus’ Spinoza. Ide ini memberikan suatu gambaran yang jelas tentang dunia. Suatu monad menangkap sesuai dengan titik pandangnya dan pandangan ini mewakili alam semesta di sekelilingnya. Beberapa monad ditangkap secara relatif cukup jelas bahkan terang sekali, dan beberapa monad agak kabur. Secara kasar semakin kabur suatu persebsi itu, semakin jauh kita menggolongkan suatu monad itu ada.
Monad adalah abadi kecuali kalau Allah dengan suatu mukjizat akan menghancurkannya. Jadi monad memiliki sejumlah predikat yang tidak terbatas. Setiap monad mencerminkan seluruh alam semesta menurut pandangannya sendiri. Karena ada monad yang banyaknya tak terbatas, maka ada banyak keadaan yang tidak terbatas dari monad, masing-masing mencerminkan sebagian dari alam semesta ini. Tetapi hanya ada banyak persepsi sadar terbatas pada satu monad. Oleh sebab itu Leibniz mengandaikan eksistensi ‘persepsi-persepsi kecil’ . Adanya berbagai proses mental yang tidak sadar ini mudah dibuktikan. Misalnya, diperlihatkan oleh kemampuan seseorang bahwa ada jam telah berhenti berdetak disuatu tempat : jika dia dapat melihat ini disebabkan sebelumya melihat jam itu berdetak walaupun dia tidak sadar bahwa dia memang melihatnya.

f. Tuhan

Mengapa saya katakan ada banyak monad secara tak terbatas? Jawaban atas pernyataan ini akan mebawa kita pada teologi Leibniz. Memang merupakan kebenaran yang tidak mutlak bahwa ada banyak monad yang tidak terbatas. Mungkin ada dunia yang berisikan jumlah yang tidak begitu terbatas. Tetapi dunia sebenarnya harus mengandung suatu jumlah yang tidak terbatas, begitu menurut Leibniz , karena tidak ada hipotesis yang lain yang sesuai dengan kebaikan Allah yang tidak terbatas. Leibniz beranggapan bahwa existensi Allah dapat dibuktikan dengan jelas. Dengan berpijak pada semua doktrin rasionalis bahwa exsistensi tersebut adalah suatu kesempurnaan, kejahatan adalah suatu kebiadaban dan sebagainya disimpulkan bahwa Allah hanya dapat menciptakan yang terbaik dari semua dunia yang dimungkinkan.


Perseteruan antara Newton dan Leibniz

Perseteruan antara Newton dan Leibniz telah serin diceritakan di dalam banyak buku teks maupun buku-buku ilmiah populer lainnya.Yang dibahas di dalamnya biasanya adalah mengenai klaim penciptaan kalkulus. Sebuah perdebatan lain sering kali lolos dari perhatian banyak orang, dan perdebatan inilah yang diangkat oleh Cassirer di dalam sebuah tulisannya di dalam Jurnal The Philosophical Review. Perdebatan ini adalah mengenai posisi epistemologis kedua raksasa filsafat ini dalam melihat ilmu alam atau—di dalam bahasa yang dipakai di zaman itu—filsafat alam.
Untuk melihat perbedaan yang mendasar di antara kedua filsuf alam tersebut bukanlah sebuah perkara yang mudah.Sentimen-sentimen yang menyertai perdebatan tersebut mengaburkan esensi dari perdebatan itu sendiri. Surat menyurat yang terjadi di tahun 1715 dan 1716 antara Leibniz dan Samuel Clarke yang membela Newton juga tidak banyak membantu untuk melihat masalah ini lebih jelas. Bahkan tuduhan-tuduhan yang saling dilontarkan satu sama lain malah melebar pada masalah agama. Untuk itu kita perlu masuk ke dalam pemikiran kedua filsuf ini secara mendasar supaya bisa memahami betul inti perdebatan mereka.
Newton dan Leibniz secara sederhana bisa dilihat sebagai pengusung dua tradisi ilmiah yang berbeda; Newton mengedepankan induksi sebagai pengusung empirisisme dan Leibniz mengedepankan deduksi.Sebagai pengusung empirisisme, Newton mementingkan data faktual sebagai sebuah realitas.Leibniz berangkat dari hal yang berbeda dengan mengandalkan rasio, yang menurutnya dapat menjelaskan seluruh realitas.
Tetapi mengotakkan Newton dan Leibniz menjadi pengusung cara berpikir induktif atau deduktif bisa jadi juga kurang tepat, mengingat induksi dan deduksi bisa dipakai secara longgar. Cara berpikir induktif Newton tidaklah sama dengan Francis Bacon atau John Stuart Mill. Induksi Newton bisa ditelurusi dari metode induksi Galileo ketimbang melalui Bacon.Bacon sendiri melalui metode induksinya mencita-citakan sebuah “rasionalisasi” dari seluruh data-data empiris, sehingga ditemukan “forma murni” dari seluruh fenomena yang berubah-ubah dan banyak. Ini bukanlah cara yang ditempuh Galileo dan Newton. Metode Bacon adalah ektensifikasi dan amplifikasi dengan mengumpulkan data empiris sebanyak-banyaknya.Newton tidak tertarik dengan ini.Ia tidak ingin mencari “forma murni” dari gravitasi misalnya. Ia sekedar ingin mereduksi fenomena alam menjadi hukum-hukum alam dan menurunkan hukum-hukum alam ini secara matematis. Metodenya adalah intensifikasi dan simplifikasi. Dengan metode ini proses akumulasi dan komparasi induksi Baconian diubah menjadi sebuah proses analitis. Cara ini oleh Newton dinamakan induksi analitis. Tanpa proses analitis tersebut, tidak akan dapat dihasilkan buah dari semua data empiris tersebut, yaitu sebuah hukum alam yang menggambarkan gejala yang dapat dinyatakan secara matematis.
Dengan induksi analitis ini, pengumpulan data empiris bukanlah tujuan utama.Interpretasi dari data-data yang sudah ada menjadi lebih penting.Hukum gravitasi umum telah lama didiskusikan sebelum terbitnya Principia Newton. Bahkan rumusan matematis hukum gravitasi umum Newton pun bukan barang baru; Christopher Wren, Robert Hooke, dan Edmond Halley telah mengembangkan teori daya tarik yang berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Sumbangan Newton bukanlah di situ, melainkan memberikan sebuah kerangka berpikir yang sungguh baru, yang kemudian bisa dijadikan landasan pijakan yang kuat bagi para penerusnya.
Leibniz di lain pihak memulai dari titik lain. Jika Newton mulai dengan menganalisis fenomena alam, Leibniz memulai dengan analisis logika. Sebagaimana yang dikatakan Leibniz:
“Jika seseorang ingin membuat bangunan di tanah berpasir, ia harus terus menggali sampai menemukan dasar kokoh berbatu, seperti orang yang ingin mengurai benang kusut harus menemukan awalnya, dan seperti Archimedes yang membutuhkan tumpuan diam untuk memindahkan dunia—jadi yang kita butuhkan adalah sebuah titik tetap sebagai fondasi di mana kita bisa mendirikan pengetahuan manusia. Dan titik awal ini adalah analisis dari macam-macam kebenaran.”
Ini bukan berarti Leibniz tidak mengakui nilai dari kebenaran empiris.Kebenaran empiris baginya hanyalah sebuah bagian kecil dari seluruh semesta kebenaran.Adalah tugas para filsuf untuk bisa menemukan kebenaran sejati di belakang kebenaran fenomenal.Di dalam ilmu fisika kita menemukan kebenaran faktual, di dalam logika, aritmatika dan geometri kita menemukan kebenaran abadi.
Kebenaran faktual tidak terpisah dari kebenaran logika dan matematika, atau bertentangan dengannya.Masing-masing dunia memiliki hukum-hukumnya masing-masing. Di dalam suratnya kepada Clarke, Leibniz menunjukkan:
Fondasi agung dari matematika adalah prinsip kontradiksi atau identitas, yaitu sebuah proposisi tidak mungkin benar dan salah pada saat yang sama; dan oleh karena itu ia adalah yang itu dan tidak bisa yang lain. Prinsip ini cukup untuk mendemonstrasikan setiap bagian dari aritmatika dan geometri, yang merupakan seluruh dari prinsip-prinsip matematika. Tetapi untuk meneruskan dari matematika ke filsafat alam, sebuah prinsip yang lain diperlukan … prinsip kecukupan sebab (sufficient reason), bahwa tak satu pun yang terjadi tanpa sebab sehingga ia harus terjadi demikian ketimbang yang lain.
Leibniz mengatakan bahwa kebenaran logika dan matematika adalah niscaya, sedangkan kebenaran faktual adalah kontingen.Ia kemudian meneruskan bahwa perbedaan antara kebenaran yang niscaya dan kontingen ini hanya memiliki nilai relatif, bukan absolut. Keduanya memang tidak berada pada domain yang sama. Keduanya tidak dapat dibandingkan.Meskipun demikian ini tidak berarti mereka tidak memiliki hubungan.Leibniz memberikan contoh dengan bilangan irasional.Sebuah bilangan irasional tidak ditemukan di dalam pengukuran faktual, melainkan hanya ditemukan dalam konsep matematika. Namun bilangan irasional tetap dapat didekati dengan deret tak hingga bilangan rasional sehingga keduanya tetap berhubungan.
Leibniz mengakui bahwa di dalam banyak bidang kita hanya bisa mendapatkan kebenaran faktual.Yang bisa kita lakukan adalah mengumpulkan fakta tanpa bisa mendeduksi fakta dari prinsip-prinsip rasio yang lebih tinggi.Namun ini hanyalah langkah pertama. Seorang ilmuwan atau filsuf tidak akan pernah puas dengan hasil seperti ini. Mereka tidak hanya sekedar mengumpulkan fakta, melainkan mau mencoba mengerti fenomena alam.Kebenaran rasional inilah yang menjadi batas dari ilmu pengetahuan. Kita mungkin tidak akan pernah tahu penyebab dari segala sesuatu, tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk terus mencari dan membuktikan penyebab-penyebab tersebut. Semuanya ini bisa dirangkum dalam sebuah kalimat
“Semua kebenaran empiris dapat digambarkan dalam kebenaran rasional dan dapat direduksi ke dalam bentuk kebenaran rasional.”
Dengan kalimat ini, sesungguhnya Leibniz-lah seorang rasionalis par excellence, melebihi rasionalis-rasionalis lainnya.Ia meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah proses pencarian kebenaran ini, bukan sekedar pengumpulan fakta, tetapi sebuah proses mengerucut yang semakin mendekati kebenaran. Seluruh kebenaran empiris bisa direduksi menjadi prinsip-prinsip umum yang universal.Ia bahkan melampaui batas-batas ilmu alam, dengan juga menerapkan prinsip-prinsip universal ini pada ranah lain yaitu masalah politik, sosial dan religius.
Ambisi Leibniz memang terlihat begitu besar, sebesar kepercayaannya pada rasio manusia yang bisa mengerti semua hal.Ia mendambakan sebuah Scientia Generalis yang membuat semua fenomena terjelaskan. Newton tidak seambisius itu. Bagi Newton, dunia sekedar dapat dimasuki, tetapi tidak dapat dipahami oleh rasio manusia. Sains mungkin bisa memimpin kita sampai jauh, tetapi tidak mampu melihat sampai pada kedalaman “lautan kebenaran”.
Meskipun cara mereka melihat kebenaran begitu berbeda, mereka berdua memakai matematika. Keduanya meletakkan fondasi matematika yang sangat kokoh sampai saat ini, yaitu matematika nilai variasi, atau matematika perubahan, yang kita kenal sekarang dengan istilah kalkulus.Namun mereka berdua melihat matematika secara berbeda. Bagi Leibniz, matematika adalah salah satu dari aplikasi umum prinsip-prinsip logikanya. Kalkulus ciptaannya adalah pengejawantahan logika dalam bentuk simbolisme matematika.Simbol-simbol ini, dengan kejelasan dan kesederhanaannya, terbukti lebih superior dibandingkan dengan metode fluxion ciptaan Newton.
Newton memperlakukan matematika secara berbeda.Ia melampaui tradisi matematika para pendahulunya. Sejak Plato, matematika dipakai sebagai penggambaran kebenaran yang abadi—yang tidak berubah.Matematika tidak berubah menurut keadaan, seperti yang terjadi pada fenomena, oleh karena itulah, matematika dilihat sebagai kebenaran yang sempurna.Newton justru melakukan hal yang sebaliknya.Newton menggunakan matematika untuk menggambarkan perubahan. Matematika yang ia kembangkan digunakan untuk menggambarkan gerak. Ia bahkan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak. Gerak tidak lagi menjadi sekedar fenomena, melainkan konsep dari alam itu sendiri, sebagai sebuah kategori matematis. Bagi Newton, matematika baru ini bukanlah sekedar ada di dalam pikiran manusia, melainkan realitas itu sendiri.
Leibniz juga menempatkan matematika di posisi yang tinggi. Namun ia melihat matematika sebagi subordinat dari logika. Ia adalah seorang Platonis sejati dan pembela tradisi Yunani klasik yang ketat secara logika deduktif. Kalkulus ciptaannya bukanlah dibangun dari fenomena alam, seperti halnya Newton, melainkan konsep yang diturunkan dari logika.
Perbedaan yang mendasar dari Newton dan Leibniz juga terlihat dari bagaimana mereka memandang ruang dan waktu. Bagi Newton, ruang dan waktu bukan hanya realitas, melainkan adalah juga kerangka dari realitas itu sendiri. Bahkan Newton sebagai seorang yang religius menyebutkan bahwa ruang dan waktu bukan hanya realitas material biasa melainkan atribut absolut dari Allah sendiri.Mereka adalah forma dan tatanan, bukan benda.Leibniz sebagai seorang ahli logika melihatnya secara berbeda.Ruang dan waktu baginya tidak memiliki eksistensi secara metafisis.Ruang adalah keadaan di mana benda terletak, dan waktu adalah keadaan menurut urutan posisi kejadian.Untuk melihat ruang, kita cukup melihat posisi relatif antara benda-benda, tanpa perlu menciptakan sebuah realitas tersendiri. Begitu pula dengan waktu, ia adalah sekedar urutan kejadian, yang tidak perlu dijadikan sebuah eksistensi terpisah.
Salah satu sanggahan Leibniz adalah seperti ini: jika ada dua benda bergerak sejajar satu sama lain dengan kecepatan yang sama sehingga posisi keduanya tidak berubah, bagaimana kita bisa tahu mereka bergerak terhadap ruang atau tidak. Bagaimana kita bisa tahu kedua benda tersebut diam atau bergerak, mengingat posisi relatif keduanya adalah sama. Dalam kata-katanya sendiri Leibniz menjelaskan
Aku meyakini bahwa ruang dan waktu adalah sesuatu yang murni relatif.Ruang adalah sebuah tatanan koeksistensi dan waktu adalah tatanan suksesi. Ruang menyatakan kemungkinan tatanan benda-benda, sejauh mereka ada bersama-sama, di dalam waktu yang sama, bagaimanapun cara mereka berada. Di manapun kita melihat banyak hal berbeda, kita sadar akan tatanan di antara mereka.
Menjadi semakin jelas bahwa perbedaan mereka adalah Newton melihat kebenaran sebagai apa yang ada di alam—in rerum natura—sedangkan Leibniz melihat bahwa apa yang benar adalah apa yang logis. Bahkan matematika menurut Newton adalah sebuah kebenaran karena ia dapat ditemukan dalam alam.
Meskipun berbeda, mereka berdua menolak sensasionalisme.Keduanya sepakta bahwa fakta empiris saja tidak mencukupi.Dengan demikian mereka berbeda dengan tradisi empirisisme Inggris, yang mengatakan bahwa semuanya itu hanyalah persepsi semata. Bagi Newton ruang dan waktu adalah realitas ultima yang substansial, dan bagi Leibniz, ruang dan waktu adalah asumsi yang niscaya, yang memungkinkan realitas yang lain untuk dipahami.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa batu pijakan yang didirikan oleh Newton-lah yang membuat revolusi di dalam ilmu alam.Dengan mereduksi seluruh fenomena alam menjadi gerak yang dapat dinyatakan secara matematis, seluruh fenomena alam dapat dipotong-potong dan dianalisis geraknya saja. Ini menghindarkan mereka dari debat deduktif yang melelahkan tentang esensi dari realitas itu sendiri. Metode Leibniz, walaupun terbukti tangguh secara logika matematis, lebih sukar untuk dijadikan pijakan. Waktu dan ruang yang relatif terbukti lebih sulit untuk dipahami, apalagi dirumuskan secara matematis.Sejarah membutuhkan beberapa abad kemudian ketika Einstein mengemukakan teori relativitas dan mampu mengemukannya secara matematis.
Perkembangan fisika modern memang menunjukkan seolah-olah mereka kembali kepada pemikiran Leibniz.Teori relativitas menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidaklah absolut. Model Standar yang sekarang dipakai juga terlihat semakin matematis, sehingga dengan demikian adalah logika. Beberapa postulat di dalamnya belum memiliki pijakan pengamatan empiris.Logika terlihat mendahului data faktual.Begitu pula dengan cita-cita adanya sebuah Grand Unified Theory yang menyatukan semua teori-teori fisika.Ini terlihat seperti cita-cita Scientia Generalis-nya Leibniz.
Namun ini tidak berarti fisika Newtonian telah diruntuhkan.Ia lebih merupakan sebuah konstruksi baru sains. Fisika Newton tetap menjadi dasar pijakan yang memungkinkan fisika berkembang, sehingga pada suatu titik dimungkinkan sebuah loncatan kepada sebuah fisika baru.Sentimen-sentimen Inggris vs. Jerman telah membuat kemungkinan konstruksi lebih awal gagal terjadi.Begitu pula dengan dogmatisme ajaran-ajaran Newton yang tidak disikapi dengan kritis, yang telah menghambat pertumbuhan sains.
Menarik untuk dilihat bahwa walaupun Newton dan Leibniz berbeda secara epistemologis, keduanya mampu disatukan dalam fisika modern.Posisi Newton lebih mewakili posisi saintis, dan posisi Leibniz lebih mewakili posisi para filsuf.Perbenturan keduanya terlihat seperti perbenturan antara fisika dan filsafat.Yang satu mementingkan data empiris dan yang lainnya keketatan logika.Perbedaan ini terbukti lebih konstruktif ketimbang destruktif.Justru karena perbedaan-perbedaan itulah sains menjadi berkembang.



Daftar Pustaka

Hakim, Atang Abdul. 2008. Filsafat Umum dari Metodologi – Teofilosofi. Bandung : Pustaka Setia.
Higgin, Graham. 2004. Antologi Filsafat. Yogyakarta : Bentang
Sadulloh, Uyoh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : cv Alfabeta.
Scruton, Roger. 1984. Sejarah Singkat Filsafat Modern dari Descartes sampai Wittgenstein. Jakarta : PT Panca Simpati.
http://onisur.wordpress.com/2009/01/05/newton-dan-leibniz-dan-konstruksi-baru-sains/
didownload pada hari Selasa, 27 Oktober 2009. pukul : 21. 15 WIT.
http://puputo.blogspot.com/2009/06/gottfried-wilhelm-leibniz.html
didownload pada hari Selasa, 27 Oktober 2009. pukul : 21. 19 WIT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar